Sabtu, 26 Desember 2009

Anakku Drita bukan Prita

Dalam bilik renta berdinding bambu
Diatas tikar tua dipan kayu
Dari televisi pucat dan berdebu
Drita anakku mendengar dan termangu

Di bilik ini, aku merubah namanya
Nama Indah yang berat mengundang lara
Kuganti dengan Drita
Nama singkat sesuai adanya

Layu anakku karna lumpuh
Pasi wajah tiada ceria

Kala dokter rumah sakit mengusir
Dengan kata senyum manis bibir
Drita anggap ini tak adil
Aku anggap ini takdir

Drita tak kenal e-mail
Keluh kesahnya hanya dibibir
Tuntut adil sekedar nyinyir
Rumah sakit tak marah karena sindir

Televisi meraung suara keping
Tersiar kabar berkarung koin
Untuk Prita yang tak miskin
Anakku, Adilkah ini?

Anak tetangga bernama "Balita"
Beri keping untuk Prita
Temanku memulung bernama "Nestapa"
Menderma keping untuk Prita
Politisi tenar bernama "Kaya"
Menyumbang berjuta harta untuk Prita

Drita bukan Prita...
Mulut Drita berucap parau...


Bapak...
Prita pandai dan berpunya
Prita tak layak sengsara

Bapak...
Drita miskin, buta aksara dan lara
Drita memang layak menderita

Dritaku menyeka air mata
Dikaisnya saku bertambal perca
Di angsurkan sekeping rupiah
Bapak... Ini untuk Prita

Kini air mataku meluap
Takkan ku keringkan
Agar semua tahu
Anakku Drita... Bukan Prita

....jakarta, desember'09

Kicau Pagi Pengemis

Kicauku...
Ya, semalam aku dicabik dingin
Selimutku terbang diseret angin
Bulir air entah gerimis atau embun
Menimpa mataku memaksa bangun

Kicauku atau umpatku?
Aku lebih suka menyebut kicauku
Aku sengaja mengejek burung
Karena burung tak setegar aku

Kulanjut kicauku...

Karena pagi ini lapar menindih lambung
Kota ini tak beri makanku
Ronta lara terasa memasung
Kota ini semakin angkuh

Tak ada yang mau dengar kicauku...

Kenapa?
Manusia lebih suka kicau burung
Burung tak mengeluh
Tak jelas.. Gembira atau geram karena lapar

Aku cuma bisa berkicau..

Aku tak bisa terbang
Pasung lumpuh merantai kaki
Aku pengemis yang kau lihat tiap pagi
Disini... ya disini

Aku menunggu sambil berkicau...

Aku menunggu sedekah makan pagi
Aku menunggu lumpuhku pergi
Aku menunggu saatku mati
Atau menunggu malam datang lagi

Kicauku kian mengumpat...

Kuumpat pejalan kaki yang lewat
Kuumpat pemilik mobil mengkilat
Kuumpat pemimpin yang menjabat
Akankah suatu saat,
kuumpat Malaikat

Kicauku kian lirih...
Kicauku tak mengobati perih

Mereka Sebut Aku Malam

Mereka menyebutku malam
Karena matahari tak pernah menatapku
Mereka mengenal parasku kelam
Dan sunyi adalah bahasaku

Tak cukupkah buram untukku?
Sampai mereka tambahkan seram dalam ceritaku
Tak cukupkah dingin untukku?
Hingga mereka taburkan hina dalam larutku

Memang... sebagian mereka menungguku
Untuk menanam butir dosa
Kuakui... sebagian mereka menyambutku
Hanya karena memakaiku sebagai kelambu

Sedang mereka yang putih
Menantiku untuk mengeringkan letih
Membiarkan aku berlalu pergi
Dengan lelap tanpa peduli

Akulah malam...
Mereka yang lebih putih
Senangkanku dengan tetes air suci
Di tengahku, di sebagian tempoku bertepi

Ada riangku, meski aku adalah kelam
Tuhan berjanji beri lebih cinta
Bila datang dan pergiku
Mereka senandungkan pinta do'a

Terserah... Karena aku cuma buram
Menanam dosakah mereka
Berkelambukah mereka
Lelapkah mereka
atau
Menjaring janji Tuhan dengan do'a

Tiada risauku...
Karena aku cuma malam
Toh janji Tuhan itu bukan untukku
Datangku tentu, dan pergi pun pasti..
Terserah mereka


......jakarta, desember '09